Sejarah Menjadi Inspirasi
Sejarah Mbah Asnawi
Kudus adalah daerah yang terkenal dengan nama kota Kretek dan kota
Santri dalam wilayah propinsi Jawa Tengah. Kota ini dibangun oleh Sunan
Kudus (Sayyid Ja’far Shodiq) dengan rentetan historisitas yang berpusat
pada kerajaan Islam pertama di Jawa (Demak). Hal ini ditengarai dari
inskripsi batu nisan yang ada di atas mihrab Masjid al-Aqsha Menara
Kudus.
Di belakang Masjid al-Aqsa Menara Kudus inilah, di Komplek Makam Sunan
Kudus, hampir selalu ada saja yang mengaji. Baik yang dengan tujuan
untuk berziarah, maupun santri yang niat tabarrukan agar diberi
kemudahan dalam berbagai urusan. Di antara deretan nisan di komplek
makam tersebut, terdapat makam KH Raden Asnawi. Salah seorang ulama
keturunan ke-14 Sunan Kudus (Raden Ja’far Shodiq) dan keturunan ke-5 KH
Mutamakkin Kajen, Margoyoso, Pati. Yang hidup sezaman dengan Sultan
Agung Mataram.
Kelahiran Beliau
Pada hari Jum’at Pon, kisaran tahun 1861 M (1281 H) di daerah Damaran
lahir seorang bayi yang diberi nama Raden Ahmad Syamsyi. Putra dari
pasangan H. Abdullah Husnin dan Raden Ayu Sarbinah ini lahir di sebuah
rumah milik Mbah Sulangsih di desa Damaran Tempat tinggal Mbah Sulang
begitu ia akrab disapa menjadi ramai didatangi oleh sanak saudara dan
tetangga sekitar lantaran kelahiran anak pembarep. Sudah menjadi tradisi
masyarakat Kudus, setiap ada babaran (melahirkan bayi), tetangga ikut
merasakan bahagia dengan menjenguk ibu dan anak yang dilahirkan.
H. Abdullah Husnin terkenal seorang pedagang konfeksi yang tergolong
besar. Memang sudah menjadi hal yang lumrah, rata-rata penduduk di desa
ini mempunyai penggautan (kerja) di bidang konfeksi. Potensi ekonomi
masyarakatnya mengandalkan kreatifitas memproduksi kain menjadi pakain,
kerudung, rukuh, dan lain sebagainya.
Sejak kecil, Ahmad Syamsyi diasuh oleh kedua orang tuanya, dikenalkan
pada pelajaran agama dan tata cara bermasyarakat menurut ajaran-ajaran
Islam. Selain itu, Ahmad Syamsyi juga diajarkan berdagang sejak dini.
Kemudian semenjak usia 15 tahun, pada kisaran tahun 1876 M. orang tuanya
memboyong ke Tulungagung Jawa Timur. Di sana H Abdullah Husnin
mengajari anaknya berdagang pagi hingga siang.
Keinginannya mencetak putra sholih mengantarkan Husnin untuk
mengikutsertakan Syamsi mengaji di Pondok Pesantren Mangunsari
Tulungagung. Waktu mengaji adalah sepulang dari berdagang mulai sore
hingga malam. Tidak diketahui apa kitab yang ditekuni kala itu. Selain
mengaji di Tulungagung, Ahmad Syamsi kemudian melanjutkan mengaji kepada
KH. Irsyad Naib Mayong, Jepara.
Masa Mudanya
Sejak kecil beliau diajar oleh orang tuanya sendiri, terutama dalam
mengaji Al-Qur’an. Setelah berumur 15 tahun beliau diajak oleh orang
tuanya ke Tulung Agung Jawa Timur untuk mengaji sambil belajar
berdagang. Sesudah mendapat asuhan dan didikan dari orang tuanya, beliau
kemudian mengaji di pondok pesantren Tulungagung, lalu berguru dengan
Kyai H. Irsyad Naib Mayong Jepara sebelum pergi haji. Selama di Mekah
beliau berguru antara lain dengan Kyai H. Saleh Darat Semarang, Kyai H.
Mahfudz Termas dan Sayid Umar Shatha.
Pergantian Nama dan Mengajar Agama
Sewaktu umur 25 tahun, kira-kira pada tahun 1886 M. Ahmad Syamsi
menunaikan ibadah haji yang pertama dan sepulangnya dari ibadah haji
ini, KHR. Asnawi mulai mangajar dan melakukan tabligh agama.
Kira-kira umur 30 tahun KHR. Asnawi diajak oleh ayahnya untuk pergi haji
yang kedua dengan niat untuk bermukim di tanah suci. Di saat-saat
melakukan ibadah haji, ayahnya pulang ke rahmatullah, meskipun demikian,
niat bermukim tetap diteruskan selama 20 tahun. Selama itu KHR. Asnawi
juga pernah pulang ke Kudus beberapa kali untuk menjenguk ibunya yang
masih hidup beserta adik yang bernama H. Dimyati yang menetap di Kudus
hingga wafat. Ibunya wafat di Kudus sewaktu KHR. Asnawi telah kembali ke
tanah suci untuk meneruskan cita-citanya.
Sepulangnya dari haji pertamanya, nama Raden Ahmad Syamsi diganti dengan
Raden Haji Ilyas. Pergantian nama sepulang dari tanah suci sudah
menjadi hal yang wajar, namun nama Ilyas juga tidak menjadi nama hingga
wafatnya. Nama Ilyas ini kemudian diganti lagi dengan Raden Haji Asnawi,
setelah pulang dari menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya.
Selanjutnya nama Asnawi ini yang menjadi terkenal dalam pengembanagan
Ahlussunnah Waljama’ah di daerah Kudus dan sekitarnya. Dari sinilah
kharismanya muncul dan masyarakat memanggilnya dengan sebutan Kiai.
Sehingga nama harum yang dikenal masyarakat luas menyebut dengan Kiai
Haji Raden Asnawi (KHR. Asnawi).
Sebagaimana lazimnya, sebutan Kiai ini tidaklah muncul begitu saja, atau
dedeklarasikan dalam sebuah peristiwa, namun ia diperoleh melalui
pengakuan masyarakat yang diajarkan agama secara berkesinambungan sejak
KHR. Asnawi berumur 25 tahun. Pada setiap Jumu’ah Pahing, sesudah shalat
Jumu’ah, KHR. Asnawi mengajar Tauhid di Masjid Muria (Masjid Sunan
Muria) yang berjarak + 18 Km dari kota Kudus, dan jalan pegunungan yang
menanjak ini ditempuhnya dengan berjalan kaki. KHR. Asnawi juga selalu
berkeliling mengajar dari masjid ke masjid sekitar kota saat shalat
Shubuh.
Secara khusus KHR. Asnawi juga mengadakan pengajian rutin, seperti
Khataman Tafsir Jalalain dalam bulan Ramadlan di pondok pesantren Bendan
Kudus. Khataman kitab Bidayatul Hidayah dan al-Hikam dalam bulan
Ramadlan diTajuk Makam Sunan Kudus. Membaca kitab Hadist Bukhari yang
dilakukan setiap jamaah fajar dan setiap sesudah jama’ah shubuh selama
bulan Ramadhan bertempat di Masjid al-Aqsha Kauman Menara Kudus, sampai
KHR. Asnawi wafat, kitab ini belum khatam, makanya diteruskan oleh
al-Hafidh KHM. Arwani Amin sampai khatam.
Kegiatan tabligh KHR. Asnawi untuk menyebarkan akidah Ahlusunnah wal
Jamaah tidaklah terbatas daerah Kabupaten Kudus saja, melainkan juga
menjangkau ke daerah lain seperti Demak, Jepara, Tegal, Pekalongan,
Semarang, Gresik, Cepu, dan Blora.
Di antara ilmu yang diutamakan oleh KHR. Asnawi adalah Tauhid dan Fiqih.
Karenanya, bagi masyarakat Kudus dan sekitarnya, KHR. Asnawi hingga
kini masih selalu diingat melalui karya populernya yang kini dikenal
dengan “Shalawat Asnawiyyah.” Selain itu karya Asnawi sepertiSoal Jawab
Mu’taqad Seket, Fasholatan Kyai Asnawi (yang disusun oleh KH. Minan
Zuhri),Syi'ir Nasihat, Du’aul ‘Arusa’in, Sholawat Asnawiyyah dan
syi’iran lainnya juga tetap diajarkan di pengajian-pengajian pesantren
dan masjid-masjid hingga saat ini.
Diantaranya pada setiap hari Jum’ah Pahing sesudah shalat Jum’ah beliau
mengajar ilmu tauhid di Masjid Muria (Masjid Sunan Muria) yang berjarak
18 Km dari kota Kudus, dan ini dilakukan dengan jalan kaki. Beliau
berkeliling di masjid-masjid sekitar kota bila melakukan shalat subuh.
Kira-kira umur 30 tahun beliau diajak oleh ayahnya untuk pergi haji yang
kedua dengan niat untuk bermukim di tanah suci. Di saat-saat melakukan
ibadah haji, ayahnya pulang ke rahmatullah, meskipun demikian, niat
bermukim tetap diteruskan selama 20 tahun. Selama itu beliau juga pernah
pulang ke Kudus beberapa kali untuk menjenguk ibunya yang masih hidup
beserta adik yang bernama H. Dimyati yang menetap di Kudus hingga wafat.
Ibunya wafat di Kudus sewaktu beliau telah kembali ke tanah suci untuk
meneruskan cita-citanya.
Mukim Di Tanah Suci
Semula beliau tingal di rumah Syekh Hamid Manan Kudus, kemudian setelah
kawin dengan ibu Nyai Hajjah Hamdanah (janda Almaghfurlah Kyai Nawawi
Banten), beliau pindah tempat di kampung Syamiah Mekah dengan dikaruniai
9 orang anak, tetapi yang hidup sampai tua hanya 3 orang yaitu: H.
Zuhri, H. Azizah istri KH. Shaleh Tayu dan Alawiyah istri R. Maskub
Kudus. Selama bermukim di tanah suci, disamping menunaikan kewajiban
sebagai kepala rumah tangga, beliau masih mengambil kesempatan untuk
memperdalam ilmu agama dengan para Ulama besar, baik dari Indonesia
(Jawa) maupun Arab, baik di Masjidil Haram maupun di rumah.
Beliau juga pernah mengajar di Masjidil Haram dan di rumahnya, diantara
yang ikut belajar antara lain: KH. Abdul Wahab Hasbullah Jombang, KH.
Bisyri Samsuri Jombang, KH. Dahlan Pekalongan, KH. Shaleh tayu, KH.
Chambali Kudus, KH. Mufid Kudus dan KH. A. Mukhit Sidoarjo.
Disamping belajar dan mengajar agama Islam, beliau turut aktif mengurusi
kewajibannya sebagai seorang Komisaris SI (Syariat Islam) di Mekah
bersama dengan kawannya yang lain. Pada waktu beliau bermukim ini,
pernah mengadakan tukar pikiran dengan salah seorang ulama besar, Mufti
Mekah bernama Syekh Ahmad Khatib Minangkabau tentang beberapa masalah
keagamaan.
Pembahasan ini dilakukan secara tertulis dari awal masalah hingga akhir,
meskipun tidak memperoleh kesepakatan pendapat antara keduanya. Karena
itu beliau bermaksud ingin memperoleh fatwa dari seorang Mufti di Mesir,
maka semua catatan baik dari tulisan beliau dan Syekh Ahmad Khatib
tersebut dikirim ke alamat Sayid Husain Bek seorang Mufti di Mesir, akan
tetapi Mufti Mesir itu tidak sanggup memberi ifta’-nya. (sayang,
catatan-catatan itu ketinggalan di Mekah bersama kitab-kitabnya dan
sayang keluarga KH.R.Asnawi lupa masalah apa yang dibahas beliau,
meskipun sudah diberitahu).
Melihat tulisan dan jawaban beliau terhadap tulisan Syekh Ahmad Khatib
itu, tertariklah hati Sayid Husain Bek untuk berkenalan dengan beliau.
Karena belum kenal, maka Mufti Mesir itu meminta bantuan Syekh Hamid
Manan untuk diperkenalkan dengan KH.Asnawi Kudus.
Akhirnya disepakati waktu perjumpaan yaitu sesudah shalat Jum’ah. Oleh
Syeikh Hamid Manan maksud ini diberitahukan kepada beliau dan diatur
agar beliau nanti yang melayani mengeluarkan jamuan. Sesudah shalat
Jum’ah datanglah Sayyid Husain Bek ke rumah Syekh Hamid Manan dan beliau
sendiri yang melayani mengeluarkan minuman. Sesudah bercakap-cakap,
bertanyalah tamu itu: “Fin, Asnawi?” (Dimana Asnawi?), “Asnawi? Hadza
Huwa” (Asnawi ? Inilah dia) sambil menunjuk beliau yang sedang duduk di
pojok, sambil mendengarkan percakapan tamu dengan tuan rumah. Setelah
ditunjukkan, Mufti segera berdiri dan mendekat beliau, seraya membuka
kopiah dan diciumlah kepala beliau sambil berkenalan. Kata Mufti Sayyid
Husain Bek kepada Syeikh Hamid Manan: Sungguh saya telah salah sangka,
setelah berkenalan dengan Asnawi. Saya mengira tidaklah demikian,
melihat jasmaniahnya yang kecil dan rapuh.
Pada tahun 1916 beliau meninjau tanah airnya yang ada di Kudus, serta
mengadakan hubungan dengan kawan-kawannya antara lain Bapak Sema’un, H.
Agus Salim, Hos Cokroaminoto dan lain-lain dari tokoh SI. Berangkatlah
beliau sendiri, sedang anak istri ditinggal di Mekah. Sesampainya di
Kudus beliau bersama dengan kawan-kawannya mendirikan sebuah Madrasah
yang di beri nama Madrasah Qudsiyyah pada tahun 1916 M. Dan tidak lama
kemudian diadakan pembangunan Masjid Menara Kudus yang dilakukan secara
gotong royong. Kalau malam para santri bersama-sama mengambil batu dan
pasir dari Kaligelis untuk dikerjakan pada siang harinya. Di
tengah-tengah melaksanakan pembangunan itu, terjadi suatu peristiwa
huru-hara Kudus pada tahun 1918, dimana beliau dengan kawan-kawannya
yang lain terpaksa harus menghadapi tantangan kaki tangan kaum penjajah
yang menghina Islam. Itulah sebabnya niat kembali ke tanah suci menjadi
gagal, sedang istri dan anak masih di Mekah.
Huru-Hara Kudus
Di tengah-tengah umat Islam mengadakan gotong royong untuk membangun
Masjid Menara yang dikerjakan siang dan malam, oleh orang-orang Cina
diadakan pawai yang akan melewati depan Masjid Menara. Oleh Ulama dan
pemimpin-pemimpin Islam telah mengirim surat kepada pemimpin Cina, agar
tidak menjalankan pawainya di muka Masjid Menara, mengingat banyak umat
Islam yang melakukan pengambilan batu dan pasir pada malam hari.
Permintaan itu ternyata tidak digubris, bahkan dalam rentetan pawai itu
ada adegan dua orang Cina yang memakai pakaian haji dengan merangkul
seorang wanita yang berpakaian seperti wanita nakal. Orang awam
menamakan Cengge. Pawai Cina yang datang dari muka Masjid Manara menuju
ke selatan kemudian berpapasan dengan santri-santri yang sedang bekerja
bakti mengambil pasir dan batu dengan kendaraan grobak dorong (songkro).
Kedua-duanya tidak ada yang mau mundur. Akhirnya seorang santri yang
menarik songkro itu dipukul oleh orang Cina. Dengan adanya pemukulan
terhadap orang Islam yang dilakukan oleh orang Cina, ditambah adanya
Cengge yang menusuk perasaan umat Islam, maka terjadilah pertikaian
antara para peserta pawai orang Cina dengan orang Islam yang sedang
bekerja bakti mengambil pasir dan batu. Sekalipun pertikaian ini dapat
dihentikan dan selanjutnya diadakan perdamaian, namun orang-orang Cina
belum mau menunjukkan sikap damai, bahkan masih sering melontarkan
ejekan terhadap orang Islam yang tengah mengambil pasir dan batu
sepanjang jalan yang dilalui dari Kaligelis sampai menuju ke Masjid
Manara Kudus. Karena itulah orang-orang Islam terpaksa mengadakan
perlawanan terhadap penghinaan orang-orang Cina.
Para ulama memandang beralasan untuk menyetujui adanya penyerangan
pembelaan, tetapi tidak diadakan pembunuhan terhadap orang-orang Cina,
pembakaran rumah maupun perampasan barang-barang milik orang Cina.
Tetapi ada pihak ketiga yang mengambil kesempatan untuk mengambil
barang-barang orang Cina dan tersentuhnya lampu gas pom sehingga
menimbulkan kebakaran beberapa rumah, baik milik orang Cina maupun orang
Jawa. Dengan dalih telah mengadakan pengrusakan dan perampasan oleh
pemerintah penjajah, maka para Ulama ditangkap dan dimasukkan dalam
penjara. Akhirnya KH.R.Asnawi yang dituduh sebagai salah satu penggerak,
dijatuhi hukuman selama 3 tahun. Semula di penjara Kudus, kemudian
pindah di penjara Semarang bersama-sama dengan KH.AhmadKamal Damaran,
KH. Nurhadi dan KH. Mufid Sunggingan dan lain-lain.
Selama Dalam Penjara
Pada saat di penjara, istrinya (Nyai Hj. Hamdanah) beserta 3 orang
putra-putrinya datang ke Kudus dari Mekah. Menurut cerita beliau, selama
berada di penjara Kudus pada setiap malam Jum’ah, beliau mengadakan
berjanjenan (membawa kitab Al-Barjanji) bersama dengan penghuni penjara
dan selalu mengadakan shalat jamaah lima waktu. Di samping itu, beliau
sempat menterjemahkan kitab jurumiyah (ilmu Nahwu) ke dalam bahasa Jawa,
sayang karangan ini tidak dicetak dan disiarkan.
Sesudah Keluar Dari Penjara
Sebagai seorang yang memiliki jiwa pejuang, setelah keluar dari penjara
beliau langsung terjun di tengah masyarakat untuk menunaikan kewajiban
sebagai seorang pemimpin masyarakat, diantaranya dengan berda’wah
mengajar agama dan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Diantara ilmu
yang diutamakan oleh beliau adalah Tauhid dan Fiqih. Pada tahun 1927
berdiri pondok pesantren yang diasuh oleh beliau di atas tanah wakaf
dari KH. Abdullah Faqih dan mendapat dukungan dari para dermawan dan
umat Islam di Kudus.
Kegiatan beliau dalam melakukan tabligh tidak terbatas daerah Kabupaten
Kudus saja, akan tetapi meluas ke daerah lain untuk menyebarkan aqidah
Ahlusunnah Wal Jamaah antara lain sampai ke Tegal, Pekalongan, Semarang,
Gresik, Cepu, dan Blora. Demikian halnya dalam mengadakan pengajian
meliputi daerah Demak, Jepara, dan Kudus. Di pondok pesantrennya sendiri
setiap tanggal 14 bulan hijriyah diadakan majelis ta’lim yang disebut
Patbelasan, ribuan Muslimin dan Muslimat mendatangi majelis ini. Sayang
majelis ini terhenti karena dihapus oleh pemerintah Jepang. Juga setiap
tanggal 29 Rabiul Awal beliau menyelenggarakan peringatan maulud Nabi
Muhammad Saw. Bersamaan mengadakan majelis khataman Al-Quran baik
binnadzar maupun bil-ghaib yang diasuh oleh putranya (HM. Zuhri).
Disamping melayani kebutuhan para santri yang ada di pondok pesantren
tentang pengajian kitab, secara khusus beliau juga mengadakan wiridan,
antara lain:Khataman Tafsir Jalalain dalam bulan Ramadlan di pondok
pesantren Bendan Kudus.Khataman kitab Bidayatul Hidayah dan Hikam dalam
bulan Ramadlan di Tajuk Makam Sunan Kudus.Membaca kitab Hadist Bukhari
yang dilakukan setiap jamaah fajar dan setiap sesudah jama’ah shubuh
selama bulan Ramadlan bertempat di Masjid Al-Aqsha Kauman MenaraKudus,
sampai beliau wafat, kitab ini belum khatam, makanya diteruskan oleh
Al-Hafidh KH. M. Arwani Amin sampai khatam. Sesudah selesai mendirikan
pondok pesantren pada tahun 1927 M, pernah datang ke rumah beliau
seorang tokoh Belanda yang faham tentang agama Islam bernama Van Der
Plas. Kedatangannya di rumah untuk minta agar dilayani dengan bahasa
Arab, demikian ujar petugas Kabupaten yang memberitahukan akan datangnya
Van Der Plas dan menyampaikan kehendaknya. Adapun maksud Van Der Plas
menemui beliau adalah bermaksud minta kesediaan beliau untuk memangku
jabatan penghulu di Kudus. Secara tegas penawaran itu ditolaknya, sebab
kalau diangkat sebagai penghulu tidak bebas lagi dalam melakukan amar
ma’ruf nahi mungkar terhadap para pejabat, lain kalau saya menjadi orang
partikelir, dapat melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap siapapun
tanpa ada rasa segan (ewuh pekewuh).
Kegemarannya
Pada masa hidupnya beliau sangat gemar melakukan: Silaturrahim, baik di
tempat yang dekat maupun yang jauh, baik terhadap orang tua maupun
terhadap yang lebih muda. Amar ma’ruf nahi mungkar, terhadap siapapun
terutama terhadap keluarganya asal terdapat hal-hal yang kurang baik
apalagi terhadap hal yang nyata-nyata melanggar syara’. Beliau tidak
segan-segan memberikan peringatan atau teguran. Ringan tangan bila
diundang, asal undangan yang tidak melanggar syara’. Setiap tahunnya
asal undangan tiada udzur, beliau pasti hadir dalam upacara Maulud Nabi
yang diselengarakan oleh Sayid Ali Al-Habsyi Kwitang Jakarta. Pernah
beliau berpesan: “Apabila ada orang yang minta pertolongan dan ada
kemampuan untuk memenuhi, laksanakanlah permintaan itu, sebab Allah akan
menolongmu”. Selalu memberi nasehat, baik kepada siapa saja terutama
kepada anak dan cucunya. Kalau nasehat (pidato) suaranya lantang,
sekalipun pahit, keras dan tegas sesuai dengan ajaran syariat di telinga
tetapi manis dirasa.
Perjuangannya
Pada tahun 1924 M beliau ditemui oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah Jombang
untuk bermusyawarah untuk membuat benteng pertahanan Aqidah Ahlussunah
Wal Jamaah. Akhirnya beliau menyetujui gagasan KH.A. Wahab Hasbullah dan
selanjutnya bersama-sama dengan para Ulama yang hadir di Surabaya pada
tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M mendirikan jam’iyah Nahdlatul
Ulama. Pada zaman penjajahan Belanda beliau sering dikenakan hukuman
denda karena pidatonya yang mempertahankan kesucian Islam serta
menanamkan nasionalisme terhadap umat Islam, baik di Kudus maupun di
Jepara. Pada zaman penjajahan Jepang pernah dituduh menyimpan senjata
api, sehingga rumah dan pondok beliau dikepung oleh tentara Dai Nippon,
akhirnya beliau dibawa ke markas, Kempetai di Pati.
Pada zaman awal revolusi kemerdekaan terutama pada masa menjelang agresi
ke-1, beliau mengadakan gerakan ruhani dengan membaca sholawat Nariyah
dan doa surat Al-Fil. Tidak sedikit para pemuda-pemuda kita yang
tergabung dalam laskar-laskar bersenjata berdatangan untuk minta bekal
ruhaniyah kepada beliau sebelum berangkat ke medan pertahanan di Genuk,
Alastuo dan lain-lain.
Oleh Bupati Kudus, Raden Surbakah pernah beliau dimintai untuk menempati
pendopo Kabupaten sebagai tempat pengajian dan itu dipenuhi sehingga
Bapak Bupati pindah. Majelis pengajian umum yang masih berjalan sampai
sekarang ini ialah Sanganan di Masjid Agung Kauman Wetan Kudus dan
majelis Pitulasan di Masjid Al-Aqsha Menara Kudus. Pondok Pesantrennya
masih berjalan untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan beliau.
Keluarga Almarhum
Sesudah pergi haji yang pertama beliau menikah dengan putri KH. Abdullah
Faqih Langgar dalem Kudus bernama Mudasih dan dianugrahi dua orang
putra: 1. HM. Zaini mempunyai 5 orang anak.
2. Masy’ari mempunyai 2 orang anak.
Pada waktu bermukim di Mekah beliau menikah dengan Nyai Hj. Hamdanah
(janda almarhum Syeh Nawawi Banten) dan dianugrahi tiga orang anak:
1. HM. Zuhri mempunyai 5 orang anak
2. H. Azizah ( istri KH. Saleh Tayu ) mempunyai 5 orang anak.
3. Alawiyah, mempunyai 6 orang anak
Sewaktu kembali ke Kudus pada tahun 1916, beliau dinikahkan dengan anak
keponakan Khatib Khair di Kudus bernama Subandiyah tetapi tidak tidak
dianugrahi anak hingga wafat. Sesudah itu kemudian nikah dengan ibu
Muthi’ah mempunyai 2 anak: Siti Budur dan K. Mufadh. Beliau juga pernah
menikah dengan Ibu Munijah Damaran dan tidak dikaruniai anak. Sewaktu
beliau wafat meninggalkan 3 orang istri, 5 orang anak, 23 cucu dan 18
cicit (buyut).
KH. R. Asnawi Pulang Ke Rahmatullah
Hari Sabtu Kliwon tanggal 25 Jumadil Akhir 1378 H, bertepatan tanggal 26
Desember 1959 M, tepatnya jam 03.00 fajar beliau telah dipanggil pulang
ke rahmatullah. KH.R.Asnawi, seorang ulama besar dan salah seorang
pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama wafat dalam usia 98 tahun. Innalillahi
wa inna ilaihi rojiun
Kepulangan ulama besar Kudus ke rahmatullahini tidak terduga. Sebab satu
minggu sebelum wafatnya KHR. Asnawi masih masih nampak segar bugar
ketika turut bermusyawarah dalam muktamar NU XII di Jakarta.
Pukul 02.30 WIB Sabtu itu Asnawi bangun dari tidurnya dan bergegas
menuju kamar mandi yang tidak jauh dari kamarnya untuk mengambil air
wudlu. Setelah dari kamar mandi Asnawi dengan didampingi istrinya, Nyai
Hj. Hamdanah, kembali berbaring di atas tempat tidur. Kondisinya semakin
tidak berdaya.
Dan dua kalimat syahadat(syahadatain/Asyhadu an laa ilaaha illallah wa
Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah) adalah kalimat terakhir yang
mengantarkan arwahnya kerahmatullah.
Kabar wafatnya KH.R Asnawi disiarkan di Radio Republik Indonesia (RRI)
Pusat Jakarta lewat berita pagi pukul 06.00 WIB. Penyiaran itu atas
inisiataif Menteri Agama RI KH Wahab Chasbullah yang ditelephon oleh HM.
Zainuri Noor.
Komentar
Posting Komentar