Sunan Muria
Asal Usul Sunan Muria
Beliau adalah putera Sunan Kalijaga
dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said. Seperti ayahnya, dalam
berdakwah beliau menggunakan cara halus, ibarat mengambil ikan tidak
sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara yang ditempuh untuk menyiarkan
agama Islam di sekitar Gunung Muria.
Tempat tinggal beliau di gunung Muria yang salah satu puncaknya bernama Colo. Letaknya disebelah utara kota Kudus. Sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Beliau lah satu-satu wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan beliau pula yang menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.
Sakti Mandraguna
Bahwa
Sunan Muria itu adalah wali yang sakti, kuat fisiknya dapat dibuktikan
dengan letak padepokannya yang terletak di atas gunung. Menuju ke makam
Sunan Muria pun perlu tenaga ekstra karena berada diatas bukit yang
tinggi.
Bayangkanlah,
jika sunan Muria dan isterinya atau dengan muridnya setiap hari harus
naik turun guna menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat, atau
berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang. Hal itu
tidak dapat dilakukannya tanpa adanya fisik yang kuat. Soalnya
menunggang kuda tidak mungkin dapat dilakukan untuk mencapai tempat
tinggal Sunan Muria. Harus dengan jalan kaki. Itu berarti Sunan Muria
memiliki kesaktian yang tinggi, demikian pula dengan murid-muridnya.
Bukti
bahwa Sunan Muria adalah guru yang sakti mandraguna dapat ditemukan
dalam kisah perkawinan dengan Dewi Roroyono. Dewi Roroyono adalah puteri
Sunan Ngerang, yaitu seorang ulama yang disegani masyarakat karena
ketinggian ilmunya, tempat tinggalnya di Juana.
Demikian saktinya Sunan Ngerang ini sehingga Sunan Muria dan Sunan Kudus sampai-sampai berguru kepada beliau.
Pada
suatu hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas usia Dewi Roroyono
yang genap 20 tahun. Murid-muridnya diundang semua. Seperti : Sunan
Muria, Sunan Kudus, Adipati Pathak Warak, Kapa dan Adiknya Gentiri. Tetangga dekat jua diundang, demikian pula snak kadang yang dari jauh.
Setelah
tamu berkumpul Dewi Roroyono dan adiknya Dewi Roro Pujiwati keluar
menghidangkan makanan dan minuman. Keduanya adalah dara-dara yang cantik
jelita. Terutama Dewi Roroyono yang telah berusia 20 tahun, bagaikan
bunga yang sedang mekar-mekarnya.
Bagi Sunan Kudus
dan Sunan Muria yang sudah berbekal ilmu agama dapat menahan pandangan
matanya sehingga tidak terseret oleh godaan setan. Tapi seorang murid
Sunan Ngerang yang lain yaitu Adipati Pathak Warak memandang Dewi
Roroyono dengan mata tidak berkedip melihat kecantikan gadis itu.
Sewaktu
menjadi cantrik atau murid Sunan Ngerang, yaitu ketika Pthak Warak
belum menjadi seorang Adipati, Roroyono masih kecil, belum nampak benar
kecantikannya yang mempesona, sekarang gadis itu benar-benar membuat
Adipati Pathak Warak tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot
memandangi gadis itu terus menerus.
Karena
dibakar api asmara yang menggelora, Pathak Warak tidak tahan lagi. Dia
menggoda Roroyono dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas. Lebih-lebih
setelah lelaki itu bertindak kurang ajar.
Tentu
saja Roroyono merasa malu sekali, lebih-lebih ketiak lelaki itu berlaku
kurang ajar dengan memegangi bagian-bagian tubuhnya yang tak pantas
disentuh. Si gadis naik pitam, nampan berisi minuman yang dibawanya
sengaja ditumpahkan ke pakaian sang adipati.
Pathak
Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu.
Apalagi dilihatnya para tamu undangan menertawakan kekonyolan itu,
diapun semakin malu. Hampir saja Roroyono ditamparnya kalau tidak ingat
bahwa gadis itu adalah puteri gurunya.
Roroyono masuk kedalam kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya karena dipermalukan oleh Pathak Warak.
Malam
hari tamu-tamu dari dekat sudah pulang ketempatnya masing-masing. Tamu
dari jauh terpaksa menginap di rumah Sunan Ngerang, termasuk Pathak
Warak dan Sunan Muria. Namun hingga lewat tengah malam Pathak Warak
belum dapat memejamkan matanya.
Pathak
Warak kemudian bangkit dari tidurnya. Mengendap-ngendap ke kamar
Roroyono. Gadis itu diserepnya sehingga tidak sadarkan diri, kemudian
melalui genteng Pathak Warak masuk dan membawa lari gadis itu melalui
jendela. Dewi Roroyono dibaw alari ke Mandalika, wilayah Keling atau
Kediri.
Setelah
Sunan Ngerang mengetahui bahwa puterinya diculik oleh Pathak Warak,
maka beliau berikrar siapa saja yang berhasil membawa puterinya kembali
ke ngerang akan dijodohkan dengan puterinya itu dan bila perempuan akan
dijadikan saudara Dewi Roroyono. Tak ada yang menyatakan kesanggupannya.
Karena semua orang telah maklum akan kehebatan dan kekejaman Pathak
Warak. Hanya Sunan Muria yang bersedia memnuhi harapan Sunan Ngerang.
Saya akan berusaha mengambil Diajeng Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, kata Sunan Muria.
Tetapi
ditengah perjalan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik
seperguruan yang lebih dulu pulang sebelum acara syukuran berakhir.
Kedua orang itu merasa heran melihat Sunan Muria berlari cepat menuju
arah daerah Keling.
Mengapa
kakang tampak tergesa-gesa? Tanya Kapa. Sunan Muria lalu menceritakan
penculikan Dewi Roroyono yang dilakukan oleh Pathak Warak.
Kapa
dan Gentiri sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara seperguruan
yang lebih tua. Keduanya lantas menyatakan diri untuk membantu Sunan
Muria merebut kembali Dewi Roroyono.
Kakang
sebaiknya pulang ke Padepokan Gunung Muria. Murid-murid kakang sangat
membutuhkan bimbingan. Biarlah kami berusaha merebut diajeng Dewi
Roroyono kembali. Kalau berhasil kakang tetap berhak mengawininya, kami
hanya sekedar membantu, kata kapa.
Aku masih sanggup untuk merebutnya sendiri, ujar Sunan Muria.
Itu
benar, tapi membimbing orang memperdalam agama Islam lebih penting,
percayalah pada kami. Kami pasti sanggup merebutnya kembali, kata kapa
ngotot.
Sunan
Muria akhirnya meluluskan permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya
tidak enak menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula ia
harus menengok para santrinya di padepokan Gunung Muria.
Untuk
merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri
ternyata minta bantuan seorang Wiku Lodhang Datuk di pulau Sprapat yang
dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang tandingannya. Usaha itu
berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan ke Ngerang.
Hari
berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang. Ingin mengetahui perkembangan
usaha Kapa dan Gentiri. Ditengah jalan beliau bertemu dengan Adipati
Pathak Warak.
Hai Pathak Warak berhenti kau, bentak Sunan Muria.
Pathak Warak yang sedang naik kuda terpaksa berhenti karena Sunan Muria menghadang didepannya.
Minggir!! Jangan menghalangi Jalanku, hardik Pathak Warak.
Boleh, asal kau kembalikan Dewi Roroyono !
Goblok!! Dewi Roroyono sudah dibawa Kapa dan Gentiri!! Kini aku hendak mengejar mereka!! Umpat Pathak Warak.
Untuk apa kau mengejar mereka?
Merebutnya kembali! Jawab Pathak Warak dengan sengit.
Kalau begitu langkahi dulu mayatku, Dewi Roroyono telah dijodohkan denganku, ujar Sunan Muria sambil pasang kuda-kuda.
Tanpa
basa basi Pathak Warak melompat dari punggung kuda. Dia merangkak ke
arah Sunan Muria dengan jurus-jurus cakar harimau. Tapi dia bukan
tandingan putera Sunan Kalijaga yang memiliki segudang kesaktian.
Hanya
dalam beberapa kali gebrakan, Pathak Warak telah jatuh atau roboh di
tanah dalam keadaan fatal. Seluruh kesaktiannya lenyap dan ia menjadi
lumpuh, tak mampu untuk bangkit berdiri apalagi berjalan.
Sunan
Muria kemudian meneruskan perjalanan ke Juana. Kedatangannya disambut
gembira oleh Sunan Ngerang. Karena Kapa dan entiri telah bercerita jujur
bahwa mereka sendirilah yang memaksa mengambil alih tugas Sunan Muria
mencari Dewi Roroyono, maka Sunan Ngerang pada akhirnya menjodohkan Dewi
Roroyono dengan Sunan Muria. Upacara pernikahan pun segera
dilaksanakan.
Kapa
dan Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah tanah di desa Buntar.
Dengan hadiah itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang hidupnya serba
berkecukupan.
Sedang Sunan Muria memboyong isterinya ke Padepokan Gunung Muria. Mereka hidup Bahagia, karena merupakan pasangan yang ideal.
Tidak
demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono
dari keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona oleh
kecantikan wanita jelita itu. Siang malam mereka tidak bisa tidur. Wajah
wanita itu senantiasa terbayang. Namun karena wanita itu sudah
diperisteri kakak seperguruannya mereka tak dapat berbuat apa-apa lagi.
Hanya penyesalan yang menghujam didada. Mengapa mereka dulu terburu-buru
menawarkan jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa bersusah
payah sekarang menikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka dambakan.
Inilah hikmah ajaran agama agar lelaki diharuskan menahan pandangan
matanya dan menjaga kehotmatan (kemaluan) mereka.
Andaikata
Kapa dan Gentiri tidak memandang terus menerus kearah wajah dan tubuh
Dewi Roroyono yang indah itu pasti mereka tidak akan terpesona dan tidak
terjerat oleh iblis yang memasang perangkap pada pandangan mereka.
Kini
Kapa dan Gentiri benar-benar telah dirasuki iblis. Mereka bertekad
hendak merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria. Mereka telah
sepakat untuk menjadikan wanita itu sebagai isteri bersama secara
bergiliran. Sungguh keji rencana mereka.
Gentiri
berangkat lebih dahulu ke Gunung Muria. Namun ketika ia hendak
melaksanakan niatnya dipergoki oleh murid Sunan Muria, terjadilah
pertempuran dahsyat. Apalagi ketika Sunan Muria keluar menghadapi
Gentiri, suasana menjadi semakin panas. Akhirnya gentiri tewas menemui
ajalnya di puncak Gunung Muria.
Kematian
Gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi tidak membuat surut
niat Kapa. Kapa cukup cerdik. Dia datang ke gunung Muria secara
diam-diam dimalam hari. Tak seorangpun yang mengetahuinya.
Kebetulan
pada saat itu Sunan Muria dan beberapa murid pilihannya sedang
bepergian ke Demak Bintoro. Kapa menyerep murid-murid Sunan Muria yang
berilmu rendah, yang ditugaskan menjaga Dewi Roroyono. Kemudian yang
dengan mudahnya Kapa menculik dan membawa wanita impiannya itu ke pulau
sprapat.
Pada
saat yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro. Sunan Muria bermaksud
mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang Datuk di pulau Sprapat. Ini
biasanya dilakukannya bersahabat dengan pemeluk agama lain bukanlah
suatu dosa. Terlebih sang Wiku itu pernah meneolongnya merebut Dewi
Roroyono dari Pathak Warak.
Seperti ajaran Sunan Kalijaga
yang mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain dalam suatu
negeri. Lalu ditunjukkan akhlak Islam yang mulia dan agung. Bukannya
berdebat tentang perbedaan agama itu sendiri. Dengan menerapkan
ajaran-ajaran akhlak yang mulia itu nyatanya banyak pemeluk agama lain
yang pada akhirnya tertarik dan masuk Islam secara sukarela.
Ternyata, kedatangan Kapa ke pulau Sparapat itu tidak disambut baik oleh Wiku Lodhang Datuk.
Memalukan!
Benar-benar nista perbuatanmu itu! Cepat kembalikan isteri kakang
seperguruanmu sendiri itu! Hardik Wiku Lodhang Datuk dengan marah.
Bapa Guru ini bagaiman, bukakah aku ini muridmu? Mengapa tidak kau bela? Protes Kapa.
Sampai matipun aku takkan sudi membela kebejatan budi pekerti walau pelakunya itu muridku sendiri !
Perdebatan
antara guru dengan murid itu berlangsung lama. Tanpa mereka sadari
Sunan Muria sudah sampai ditempat itu. Betapa terkejutnya Sunan Muria
melihat isterinya sedang tergolek ditanah dalam keadaan terikat kaki dan
tangannya. Sementara Kapa dilihatnya sedang adu mulut dengan gurunya
yaitu Wiku Lodhang Datuk.
Begitu
mengetahui kedatangan Sunan Muria, Kapa Langsung melancarkan serangan
dengan jurus-jurus maut. Wiku Lodhang Datuk menjauh, melangkah menuju
Dewi Roroyono untuk membebaskan belenggu yang dilakukan Kapa.
Bersamaan
dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang mengikat tubuh Dewi
Roroyono. Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari mulut Kapa.
Ternyata
serangan dengan pengerahan aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik
menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan Muria. Mampu
membalikkan serangan lawan.
Karena Kapa menggunakan aji pamungkas yaitu puncak kesaktian yang dimilikinya maka ilmu itu akhirnya merenggut nyawanya sendiri.
Maafkan
saya tuan Wiku….,ujar Sunan Muria agak menyesal. Tidak mengapa.
Menyesal aku turut memberikan ilmu kepadanya. Ternyata ilmu itu
digunakan untuk jalan kejahatan, gumam Sang Wiku.
Bagaimanapun Kapa adalah muridnya, pantaslah kalau dia menguburkannya secara layak.
Pada akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke Padepokan dan hidup bahagia.
Komentar
Posting Komentar