Langsung ke konten utama

Wasiat Mbah Arwani Amin Kudus

Wasiat Kyai Arwani Kudus, Pengasuh Pondok Pesantren Yanbu'ul Qur'an, Kiblat Tahfidz Di Tanah Jawa


Wasiat Kyai Arwani Kudus, Pengasuh Pondok Pesantren Yanbu'ul Qur'an, Kiblat Tahfidz Di Tanah Jawa

Selain dikenal dengan sebutan Kota Kretek, Kudus juga dikenal sebagai Kota Religius atau lebih medasar lagi dikenal dengan sebutan Kota Santri. Pasalnya, banyak di antara santri yang menuntut ilmu di kota yang kharismatik yang menjadi panutan masyarakat sekitar Kudus. Di antara sekian banyak ulama di kota Kudus banyak ulama di kota Kudus yang menjadi tauladan bagi masyarakat adalah beliau al-Maghfurlah KH. M. Arwani Amin. 

Mengenal Mbah Kyai Arwani 

Sekitar lebih 100 meter di sebelah selatan Masjid Menara Kudus, tepatnya di Desa Madureksan, Kerjasan, dulu tersebutlah pasangan keluarga shaleh yang sangat mencintai al-Qur’an. Pasangan keluarga ini adalah KH. Amin Sa’id dan Hj. Wanifah. KH. Amin Sa’id ini sangat dikenal di Kudus kulon terutama di kalangan santri, karena beliau memiliki sebuah toko kitab yang cukup dikenal, yaitu toko kitab al-Amin. Dari hasil berdagang inilah, kehidupan keluarga mereka tercukupi.
Yang menarik adalah, meski keduanya (H. Amin Sa’id dan istrinya) tidak hafal al-Qur’an, namun mereka sangat gemar membaca al-Qur’an. Kegemarannya membaca al-Qur’an ini, hingga dalam seminggu mereka bisa khatam satu kali. Hal yang sangat jarang dilakukan oleh orang kebanyakan, bahkan oleh orang yang hafal al-Qur’an sekalipun.

Kelahiran KH. M. Arwani Amin Said

KH. M. Arawani Amin Said dilahirkan pada hari Selasa Kliwon pukul 11.00 siang tangga l5 Rajab 1323 H bertepatan dengan 5 September 1905 M di kampung Kerjasan Kota Kudus Jawa Tengah. Ayah beliau bernama H. Amin Said dan ibunya bernama Hj.Wanifah.
Sebenarnya nama asli beliau adalah Arwan, akan tetapi setelah beliau menunaikan ibadah haji yang pertama namanya diganti menjadi Arwani. Dan hingga wafat beliau dikenal memiliki nama lengkap sebagai KH. M. Arawani Amin Said dan panggilan akrabnya adalah Mbah Arwani Kudus.
Arwan adalah anak kedua dari 12 bersaudara. Kakaknya yang pertama seorang perempuan bernama Muzainah. Sementara adik-adiknya secara berurutan adalah Farkhan, Sholikhah, H. Abdul Muqsith, Khafidz, Ahmad Da’in, Ahmad Malikh, I’anah, Ni’mah, Muflikhak dan Ulya. Dari kedua belas ini, ada tiga yang paling menonjol, yaitu Arwan, Farkhan dan Ahmad Da’in, ketiga-tiganya hafal al-Qur’an.
Dari sekian saudara KH. M. Arwani Amin, yang dikenal sama-sama menekuni al-Qur’an adalah Farkhan dan Ahmad Da’in. Ahmad Da’in, adiknya Mbah Arwani ini bahkan terkenal jenius, karena beliau sudah hafal al-Qur’an terlebih dahulu daripada Mbah Arwan yakni pada umur 9 tahun. Ia bahkan hafal Hadits Bukhori Muslim dan menguasai Bahasa Arab dan Inggris. Kecerdasan dan kejeniusan Da’in inilah yang menggugah Mbah Arwani dan adiknya Farkhan, terpacu lebih tekun belajar.
Arwan kecil hidup di lingkungan yang sangat taat beragama (religius). Kakek dari ayahnya adalah salah satu ulama besar di Kudus, yaitu KH. Imam Haramain. Sementara garis nasabnya dari ibu, sampai pada pahlawan nasional yang juga ulama besar Pangeran Dipenegoro yang bernama kecil Raden Mas Ontowiryo.

Kehidupan Keluarga KH. M. Arwani Amin

Ayahanda Mbah Arwani yaitu H. Amin Said adalah seorang kiyai yang cukup disegani dan dihormati oleh masyarakat disekitar beliau tinggal. Meskipun ayah dan bunda beliau tidak hafal al-Qur’an, namun tempat tinggal beliau dikenal sebagai rumah al-Qur’an, karena setiap pekan mereka selalu mengkhatamkan al-Qur’an.
Istri beliau bernama Ibu Nyai Hj. Naqiyul Khud. Beliau menikah pada tahun 1935 M dimana pada saat itu status beliau adalah seorang santri dari pondok pesantren al-Munawir Krapyak Yogyakarta. Ibu Naqi adalah putri dari H. Abdul Hamid, seorang pedagang kitab. Tokonya sekarang masih ada,bahkan semakin berkembang. Beliau memiliki empat orang anak yaitu Ummi dan Zukhali Uliya (meninggal saat masih bayi) serta KH. M. A. Ulin Nuha Arwani dan KH. M. A. Ulil Albab Arwani.

Masa Menuntut Ilmu KH. M. Arwani Amin Said

KH. M. Arwani Amin dan adik-adiknya sejak kecil hanya mengenyam pendidikan di madrasah dan pondok pesantren. Arwani kecil memulai pendidikannya di Madrasah Mu’awanatul Muslimin, Kenepan, sebelah utara Menara Kudus. Beliau masuk di madrasah ini sewaktu berumur 7 tahun. Madrasah ini merupakan madrasah tertua yang ada di Kudus yang didirikan oleh Syarikat Islam (SI) pada tahun 1912. Salah satu pimpinan madrasah ini di awal-awal didirikannya adalah KH. Abdullah Sajad.
Setelah sudah semakin beranjak dewasa, akhirnya memutuskan untuk meneruskan ilmu agama Islam ke berbagai pesantren di tanah Jawa, seperti Solo, Jombang, Jogjakarta dan sebagainya. Dari perjalanannya berkelana dari satu pesantren ke pesantren itu, talah mempertemukannya dengan banyak kiai yang akhirnya menjadi gurunya (masyayikh).
Adapun sebagian guru yang mendidik KH. M. Arwani Amin diantaranya adalah KH. Abdullah Sajad (Kudus), KH. Imam Haramain (Kudus), KH. Ridhwan Asnawi (Kudus), KH. Hasyim Asy’ari (Jombang), KH. Muhammad Manshur (Solo), KH. M. Munawir (Yogyakarta) dan lain-lain.

Kepribadian KH. M. Arwani Amin Said

Selama berkelana mencari ilmu baik di Kudus maupun di berbagai pondok pesantren yang disinggahinya, KH. M. Arwani Amin dikenal sebagai pribadi yang santun dan cerdas karena kecerdasannya dan sopan santunnya yang halus itulah, maka banyak kiainya yang terpikat. Karena itulah pada saat mondok KH. M. Arwani Amin sering dimintai oleh kiainya membantu mengajar santri-santri lain. Lalu memunculkan rasa sayang di hati para kiainya.
Beliau hidup di lingkungan masyarakat santri yang sangat ketat dalam menghayati dan mengamalkan agama. Oleh karena itu wajar saja jika beliau tumbuh menjadi seorang yang memiliki perangai halus, sangat berbakti kepada kedua orang tua, mempunyai solidaritas yang tinggi, rasa setia kawan dan suka mengalah tapi tegas dalam memegang prinsip.
Beliau dikaruniai kecerdasan dan minat yang kuat dalam menuntut ilmu. Pada masa remajanya dihabiskan untuk menuntut ilmu mengembara dari pesantren ke pesantren. Tidak kurang dari 39 tahun hidup beliau dihabiskan untuk menuntut ilmu dari kota ke kota yang dimulai dari kotanya sendiri yaitu Kudus. Kemudian dilanjutkan ke Pesantren Jamsaren Solo, Pesantren Tebu Ireng Jombang, Pesantren al-Munawir Krapyak Yogyakarta dan diakhiri di Pesantren Popongan Solo.
Sekitar tahun 1935, KH. Arwani Amin pun melaksanakan pernikahan dengan salah satu seorang putri Kudus, yang kebetulan cucu dari guru atau kiainya sendiri yaitu KH. Abdullah Sajad. Perempuan sholehah yang disunting oleh beliu adalah ibu Naqiyul Khud. Dari pernikahannya dengan ibu Naqiyul Khud ini, KH. M. Arwani Amin diberi dua putrid dan dua putra. Putri pertama dan kedua beliau adalah Ummi dan Zukhali (Ulya), namun kedua putri beliau ini menginggal dunia sewaktu masih bayi.
Yang tinggal sampai kini adalah kedua putra beliau yang kelak meneruskan perjuangan KH. M. Arwani Amin dalam mengelola pondok pesantren yang didirikannya. Kedua putra beliau adalah KH. Ulin Nuha (Gus Ulin) dan KH. Ulil Albab Arwani (Gus Bab). Kelak, dalam menahkodai pesantren itu, mereka dibantu oleh KH. Muhammad Manshur. Salah satu khadam KH. M. Arwani Amin yang kemudian dijadikan sebagai anak angkatnya.

Perjuangan KH. M. Arwani Amin Said

Beliau mengajarkan al-Qur’an pertama kali sekitar tahun 1942 di Masjid Kenepan Kudus yaitu setamat beliau nyantri dari pesantren al-Munawir Krapyak Yogyakarta. Pada periode ini santri-santri beliau kebanyakan berasal dari luar kota Kudus. Seiring berjalannya waktu sedikit demi sedikit santri beliau semakin bertambah banyak dan bukan hanya dari Kudus dan sekitarnya, tapi ada yang berasal dari luar propinsi bahkan dari luar pulau Jawa. Kemudian beliau membangun sebuah pondok pesantren yang diberi nama Yanbu’ul Qur’an yang berarti Sumber al-Quran. Pondok pesantren ini didirikan pada tahun 1393 H/1979 M.
KH. M. Arwani Amin meninggalkan sebuah kitab yang diberi nama Faidh al-Barakat fi as-Sabi’a Qira’at. Semasa hidupnya beliau juga mengajarkan Thariqat Naqsabandiyah Kholidiah yang pusat kegiatannya bertempat di mesjid Kwanaran. Beliau memilih tempat ini karena suasana di sekeliling cukup sepi dan sejuk. Disamping itu tempatnya dekat perumahan dan sungai Gelis yang airnya jernih untuk membantu penyediaan air untuk para peserta kholwat. KH. M. Arwani amin juga pernah menjadi pimpinan Jam’iyah Ahli ath-Thariqat al-Mu’tabarah yang didirikan oleh para kyai pada tanggal 10 Oktobrr 1957 M. Dan dalam Mu’tamar NU 1979 di Semarang nama tersebut diubah menjadi Jam’iyyah Ahl ath-Thariqat al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (JATMAN).

Kelebihan KH. M. Arwani Amin Said

KH. M. Arwani Amin dikenal sebagai seorang ulama yang sangat tekun dalam beribadah. Dalam melaksanakan sholat wajib beliau selalu tepat waktu dan senantiasa berjamaah meskipun dalam keadaan sakit. Kebiasaan tersebut sudah beliau jalani sejak berada di pesantren.
Sewaktu masih belajar Qiraat Sab’ah pada KH. Munawir di Krapyak yang pelajarannya dimulai pada pukul 02.00 dinihari sampai menjelang Shubuh beliau sudah siap pada pukul 12.00 malam. Dan sambil menunggu waktu pelajaran dimulai beliau manfaatkan untuk melaksanakan sholat sunnah dan dzikir. Kebiasaan tersebut tetap berlanjut setelah beliau kembali dan bermukim di Kudus.
Biasanya beliau mulai tidur pukul 20.00 WIB dan bangun pukul 21.00 WIB. Kemudian dilanjutkan melaksanakan sholat sunnah dan dzikir. Apabila sudah lelah kemudian tidur lagi kira-kira selama satu sampai dua jam kemudian bangun lagi untuk melaksanakan sholat dan dzikir, begitu setiap malamya sehingga bila dikalkulasi beliau hanya tidur dua sampai tiga jam setiap malamnya
KH. M. Arwani Amin Said dikenal oleh msyarakat di sekitarnya sebagai seorang ulama yang memiliki kelebihan yang luar biasa. Banyak yang mengatakan bahwa beliau adalah seorang wali,beberapa santrinya mengatakan bahwa KH.Arwani Amin memiliki indra keenam dan mengetahui apa yang akan terjadi dan melihat apa yang tidak terlihat. Konon, menurut KH. Sya’roni Ahmadi, kelebihan Mbah Arwani dan saudara-saudaranya adalah berkat orangtuanya yang senang membaca al-Qur’an. Dimana orangtuanya selalu menghatamkan membaca al-Qur’an meski tidak hafal.
Selain barokah orangtuanya yang cinta kepada al-Qur’an, KH. Arwani Amin sendiri adalah sosok yang sangat haus akan ilmu. Ini dibuktikan dengan perjalanan panjang beliau berkelana ke berbagai daerah untuk mondok, berguru pada ulama-ulama. Selama menjadi santri, Mbah Arwani selalu disenangi para kyai dan teman-temannya karena kecerdasan dan kesopanannya. Bahkan, karena kesopanan dan kecerdasannya itu, KH. Hasyim Asy’ari sempat menawarinya akan dijadikan menantu. Namun, Mbah Arwani memohon izin kepada KH. Hasyim Asy’ari bermusyawarah dengan orang tuanya. Dan dengan sangat menyesal, orang tuanya tidak bisa menerima tawaran KH. Hasyim Asy’ari, karena kakek Mbah Arwani (KH. Haramain) pernah berpesan agar ayahnya berbesanan dengan orang di sekitar Kudus saja.Akhirnya, Mbah Arwani menikah dengan Ibu Nyai Naqiyul Khud pada 1935. Bu Naqi adalah puteri dari H. Abdul Hamid bin KH. Abdullah Sajad, yang sebenarnya masih ada hubungan keluarga dengan Mbah Arwani sendiri.

Anak Didik KH. M. Arwani Amin Said

Ribuan murid telah lahir dari pondok yang dirintis KH. M. Arwani Amin tersebut. Banyak dari mereka yang menjadi ulama dan tokoh. Sebut saja diantara murid-murid KH. M. Arwani Amin yang menjadi ulama adalah:
1) KH. Sya’roni Ahmadi (Kudus)
2) KH. Hisyam (Kudus)
3) KH. Abdullah Salam (Kajen)
4) KH. Muhammad Manshur
5) KH. Muharror Ali (Blora)
6) KH. Najib Abdul Qodir (Jogja)
7) KH. Nawawi (Bantul)
8) KH. Marwan (Mranggen)
9) KH. A. Hafidz (Mojokerto)
10) KH. Abdullah Umar (Semarang)
11) KH. Hasan Mangli (Magelang)

KH. M. Arwani Amin Said Berpulang ke Rahmatullah

Dengan keharuman namanya dan berbagai pujian dan sanjungan penuh rasa hormat dan ta’dzim atas kealimannya, beliu wafat pada taggal 25 Rabiul Akhir tahun 1415 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober tahun 1994 M dalam usia 92 tahun (dalam hitungan Hijriyah). Beliau dimakamkan di komplek Pesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus.


Salah Satu Kisah Keteladanan Kyai Arwani

Kala itu ada orang Jepara ada yang mengundang semaan Kyai Arwani itu, jarak antara Kudus dan Jepara 40 kilometer, jika naik angkot pada saat itu hanya menghabiskan biaya seribu rupiyah.
Semaan itu sebuah perhelatan, dimana beliau membaca Al-Qur'an dengan hafalan seharian penuh dan di semak banyak orang, untuk hajatan tertentu. Sorenya, begitu beliau pamit pulang, si pengundang itu dengan ketawadlu'an menyerahkan amplop kepada Kyai Arwani yang didampingi santrinya dengan kalimat: meniko kagem transpot Yai (ini untuk biaya transportasi Yai). Di mata beliau kalimat ini dipandang sebagai amanat itu, yang harus di sampaikan kepada sopirnya nanti, seluruhnya. Ternyata benar adanya, begitu sampai gang menuju Pesantren beliau di Yanbu'ul Qur'an, mobil berhenti lalu beliau menyerahkan "amanat" itu kepada kernetnya. Begitu sampai terminal Kudus, kernet itu bilang kepada sang sopir: ini aneh biasanya dibayar uang ribuan, ini diserahkan amplop. Segeralah sang sopir merobek amplop dan alangkah kagetnya bahwa amplop itu berisi uang ribuan sebanyak 200 lembar, itu sama saja dengan gaji sebulan dia menyopir, saat itu tahun '60an.
Langsung sopir itu tancap gas menuju Pesantren yang masyhur itu, begitu sampai Pesantren disambut langsung orang yang terkenal ketawadlu'annya itu, bahkan beliau tak pernah mendongakkan kepala. Dengan tawadlu' juga sopir itu bilang: Yai, menopo mboten klentu meniko arto sementen kathahe, kedah e namung setungal ewu, meniko dalem aturaken panjenengan malih (Yai Arwani, apa tidak salah ini, uangnya kebanyakan, biayanya cuma seribu, maka ini saya sampaikan kembali sisanya kepada Yai).
Tidak nak, jawab Yai Arwani lembut, itu sudah rejekimu, ambillah semuanya, aku ikhlas semoga menjadi rejeki yaqng berkah dalam hidupmu, ambillah nak.
Kawan-kawan, sopir dan kernetnya berbalik dengan linangan airmata, sambil bergumam: masih ada juga manusia yang tawadlu' seperti ini ya Robb. Setelah peristiwa ini, sopir dan kernet mendaftarkan diri sebagai jama'ah Thoriqoh khalidiyahnya Yai Arwani, dengan meliburkan diri untuk bersimpuh di pesantren dalam seminggu, pada hari Jum'at itu. Begitu melihat wajah sedehana nan tawadhiu' itu, mereka menemukan kedamaian dan pengayoman hidupnya, mereka sepertinya punya ayah baru dalam hidupnya selain kedua orang tua.
Begitu pamitan dalam setiap pengajian, mereka sempat berjabat tangan dengan tangan yang lembut itu, sedalam hatinya mereka berdua mencium tangan beliau, dan pasti dengan airmata menetes. Selalu beliau menyapa dengan lembut: sae nak? (semua baik-naik saja, nak?). Mereka tak menjawab, hanya menganggukkan kepalanya, surut dengan langkah mundur sebagai sikap tak berani membelakangi wajah yang teduh itu. 
Dan ketika tersiar kabar bahwa sopir itu meninggal, Yai Arwani menyempatkan mensholati dia, yang diikuti oleh ribuan santri Thoriqahnya. Sekarang kernetnya yang masih hidup, di dalam hatinya terselip kecemburuan kepada sopirnya, nanti kalau dia mati tentu tak seindah suasana kematian sopirnya, karena Yai Arwani telah tiada.

Wasiat Mbah Kyai Arwani Kepada Para Penghafal Al-Qur'an

Dalam setiap kartu Santri yang dimiliki oleh setiap penghafal Al-Qur'an yang mondok di Pondok Pesantren Yanbu'ul Qur'an, tertulis wasiat Mbah Kyai Arwani. Di bagian depan kertas, tertera kop "Kartu Musyafahah Al-Quran; MUS-YQ Kwanaran Kudus; Muassassah Al-Arwaniyyah; Ponpes Yanbu'ul Quran Kudus". Kemudian ada juga identitas pemegang kartu lengkap dengan alamatnya. Sedangkan di baliknya, ada scan tulisan tangan Kyai Arwani berupa Huruf Pegon (tulisan yang beraksara Arab tetapi berbahasa Jawa)
"AKU WEKAS KARO SLIRAMU: WIWIT MONGSO IKI SLIRAMU SABEN-SABEN DERES SUPOYO TARTIL. MERGO SENEJAN MUNG SETITIK NANGING TARTIL IKU LUWIH UTAMA LAN MANFA'AT TINIMBANG OLIH AKEH NANGING ORA TARTIL.
MULO WIWIT SAIKI DIBIASAAKEN SING TARTIL SENEJAN MUNG OLIH SA'JUZ RONG JUZ SEDINO. PENGENDIKANE SOHABAT 'ABDULLOH BIN 'ABBAS MENGKENE LA AN AQRO-A SUROTAN UROTTILIHA AKHABBU ILAYYA MIN AN AQRO-AL QUR-AANA KULLAHU.
KEJOBO IKU SING WIS KELAKON TUR NYOTO, YEN KULINONE DERES TARTIL IKU SA'MONGSO-MONGSO KEPENGIN DERES RIKAT TEMTU BISO. NANGING SEBALIKE YEN BIASANE DERES RIKAT BAHAYANE IKU YEN DEWEKE DIKON DERES TARTIL TEMTU ORA BISO JALAN. MULO SLIRAMU YEN ATI-ATI YEN DERES. CUKUP SEMENE WASIATKU. (tanda tangan beliau)"

Artinya kurang lebih seperti ini:
"Aku berpesan kepadamu: mulai sekarang setiap kali kamu 'nderes' Al-Qur'an, bacalah dengan 'tartil'. Meskipun sedikit akan tetapi tartil itu lebih utama dan bermanfaat daripada dapat banyak tapi tidak tartil. Maka mulai dari sekarang dibiasakan yang tartil walaupun hanya dapat satu atau dua juz sehari. Sahabat 'Abdullah bin 'Abbas berkata: Jika aku membaca satu surat dengan tartil, itu lebih aku sukai daripada membaca seluruh Al-Quran.
Pada kenyataannya, jika sudah terbiasa deres Al-Qur'an secara tartil, jika sewaktu-waktu ingin deres dengan cepat tentu akan lebih mudah. Tetapi sebaliknya jika terbiasa nderes dengan cepat bahayanya jika disuruh nderes tartil maka akan kesulitan. Maka berhati-hatilah saat nderes Al-Qur'an. Cukup sekian wasiatku. (tanda tangan beliau)."

Keterangan:
"Nderes" adalah kegiatan santri untuk menjaga hafalan al-Qurannya dengan cara mengulang-ulang setiap hari secara konsisten, atau istilah pondoknya Muroja’ah atau Takrir.
"Tartil" adalah cara membaca al-Quran sesuai dengan tata aturan tajwid beserta memperhatikan makhorijul huruf dan panjang pendeknya bacaan, sehingga tidak terjadi kesamaran kata ataupun hilangnya kata-kata tertentu dalam bacaan. Hafalah dengan tartil itu lebih susah daripada hafalan dengan cepat, tetapi lebih membekas dalam hati. Sehingga penghafal Al-Qur'an yang membiasakan diri tartil, pasti lebih mudah jika disuruh hafalan dalam tempo cepat. Tetapi penghafal yang lancar menghafal dengan cepat, belum tentu lancar saat disuruh tartil.

Nafa'anallahu bihi wa bi'uluumihi fii ad-daaroin. Aamiin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sunan Muria

Sunan Bonang